Dalam Undang-Undang
No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa Adat diatur dengan Ketentuan Khusus dalam
Bab XIII Pasal 103 sampai Pasal 110 yang pada intinya mengatur kewenangan Desa
Adat berdasarkan hak asal-usul yang dimiliki oleh Desa Adat sebagai berikut:
Pasal 103,
mengatur bahwa Desa
Adat diberi kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang meliputi:
a) Pengaturan dan
pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b) Pengaturan dan
pengurusan ulayat /wilayah adat;
c) Pelestarian
nilai sosial budaya;
d) Penyelesaian
sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat;
e) Penyelenggaraan
sidang perdamaian peradilan Desa Adat;
f) Pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban masyarakat sesuai hukum adat;
g) Pengembangan
kehidupan hukum adat.
Pasal 104,
mengatur
pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal
Desa Adat diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
keberagaman.
Pasal 105,
mengatur
pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain
dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106,
mengatur bahwa: (1),Penugasan dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi; penyelenggaraan
pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan pembangunan Desa Adat, pembinaan
kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat; (2), Penugasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Pasal 107,
mengatur bahwa
pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai
dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat.
Pasal 108,
mengatur bahwa pemerintahan Desa Adat
menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan musyawarah Desa Adat sesuai dengan
susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109,
mengatur bahwa
susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala Desa Adat
berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi.
Pasal 110,
mengatur bahwa
peraturan Desa Adat disesuaikan dengan Hukum Adat dan norma adat istiadat yang
berlaku di Desa Adat
Selanjutnya,
Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Desa mengatur Ketentuan sebagai berikut:
Pasal 30,
mengatur bahwa:
(1), Penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme: a) pengidentifikasian Desa
yang ada; dan b) pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat ditetapkan
menjadi desa adat; (2), Pengidentifikasian dan pengkajian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota bersama majelis adat atau lembaga lainnya yang sejenis.
Pasal 35,
mengatur bahwa
Penyelenggaraan kewenangan berdasarkan hak asal usul oleh desa adat paling
sedikit meliputi: a) penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat
adat; b) pranata hukum adat; c) pemilikan hak tradisional; d) pengelolaan tanah
kas desa adat; e) pengelolaan tanah ulayat; f) kesepakatan dalam kehidupan
masyarakat desa adat; g) pengisian jabatan Bendesa Adat dan perangkat desa
adat; dan h) masa jabatan Bendesa A
Pasal 36,
mengatur bahwa:
(1), Ketentuan mengenai fungsi dan kewenangan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa berlaku secara mutatis mutandis terhadap fungsi
dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan desa adat, pelaksanaan pembangunan
desa adat, pembinaan kemasyarakatan desa adat, dan pemberdayaan masyarakat desa
adat ; (2), Dalam menyelenggarakan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 serta fungsi dan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), desa adat membentuk kelembagaan yang mewadahi kedua fungsi tersebut;
(3) Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bendesa adat dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaannya
kepada perangkat desa adat atau sebutan lain.
Prinsip dasar yang
diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa adalah untuk
mengembalikan tatanan Desa Adat sesuai susunan aslinya dengan fungsi dan
kewenangannya di seluruh daerah di Indonesia yang telah hancur akibat
diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
menyeragamkan kelembagaan dan struktur organisasi pemerintahan desa secara nasional
sehingga mengakibatkan hancurnya susunan asli kelembagaan desa yang menjadi
kekhasan masing-masing daerah.
Dengan
ketentuan-ketentuan tersebut: Pertama, Desa Adat akan mengurusi dua kewenangan
yaitu: pertama, kewenangan untuk mengatur dan mengurus hak asal-usul
berdasarkan hukum adat yang bersifat otonom; kedua, kewenangan bersifat
penugasan dari pemerintah/pemerintah daerah untuk mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi dan pemerintahan yang selama ini ditangani oleh
Desa Dinas. Ketiga, Desa Adat diberi kewenangan membentuk kelembagaan untuk
mewadahi kedua urusan /fungsi tersebut. Keempat, dalam melaksanakan
urusan/fungsi dan kewenangan pemerintahan, bendesa adat dapat mendelegasikan
kewenangan pelaksanaannya kepada perangkat Desa Adat yang ditunjuk; dan kelima,
pengaturan fungsi dan kewenangan serta kelembagaan Desa Adat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Oleh karena itu
sejatinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan bahwa Desa Adat akan diintervensi
oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah berkaitan dengan fungsi dan kewenangan Desa
Adat, justru Undang-Undang Desa telah memberi payung hukum (legalitas) agar
Desa Adat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sesuai hukum adat yang berlaku
di Desa Adat. Hanya dalam urusan pemerintahan saja, Desa Adat harus berhubungan
dengan Pemerintah/Pemerintah Daerah, itupun tidak dilaksanakan langsung oleh
bendesa adat, tetapi kewenangan tersebut dapat didelegasikan pelaksanaannya
kepada perangkat Desa Adat yang ditunjuk. Sebagai bukti bahwa Pemerintah tidak
bisa campur tangan kepada Desa Adat, dengan jelas dan tegas diatur dalam Pasal
109 Undang-Undang tentang Desa bahwa kelembagaan Desa Adat, pengisian jabatan,
dan masa jabatan bendesa adat diatur berdasarkan hukum adat dan ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi. Sangat berbeda dengan Desa Dinas yang semuanya
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Seharusnya, sebelum
menentukan pilihan Desa Adat atau Desa Dinas, lebih dulu Pemerintah/Pemerintah
Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Kota mengadakan sosialisasi Undang-Undang tentang
Desa agar masyarakat memperoleh pemahaman yang benar dan utuh mengenai
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Sebagai aparatur negara,
seharusnya melaksanakan tugas sesuai dengan apa yang dimandatkan dalam
Undang-Undang tersebut. Sayangnya, Pemerintah Provinsi malah terus mendebatkan
Pasal 6 mengenai pilihan Desa Adat atau Desa Dinas, tanpa membuka ketentuan
khusus Desa Adat yang diatur dalam Bab XIII. Justru yang dilakukan malah
membangun opini untuk memilih Desa Dinas, dengan alasan-alasan bahwa kalau yang
dipilih Desa Adat, maka Desa Adat tidak akan lagi otonom karena akan mudah
diintervensi oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah. Padahal sesungguhnya, dengan
ketentuan dalam Bab XIII Undang-Undang tentang Desa, justru Desa Adat akan menjadi
sangat kuat yang sulit diintervensi oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Sesungguhnya inilah yang ditakutkan pada umumnya oleh para birokrat; dibalik
alasan-alasan semu yang disampaikan, para birokrat sesungguhnya tidak
menginginkan Desa Adat menjadi semakin kuat, ini cara pandang yang sudah kuno,
tidak bersedia membuka diri untuk melihat masa depan dengan cara pandang yang
baru.
Tugas paling
penting yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi adalah menyiapkan
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk mengatur pelaksanaan Undang-Undang
tentang Desa terutama Ketentuan Khusus tentang Desa Adat (Bab XIII) serta
ketentuan lainnya. Dalam Ranperda itu juga diatur hal-hal yang berkaitan dengan
substansi masalah yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak selama ini. Karena
itu saya menghimbau semua pihak untuk mengakhiri debat yang tidak produktif,
tetapi sebaiknya mencari solusi atas masalah yang perlu dituangkan dalam
Ranperda.
0 komentar:
Posting Komentar