Asal nama
Nama
"Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas
struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini. Pendapat yang
pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont, adalah dari asal "Setra
Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh XX, ada
tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja Majapahit,
meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab perjalanan
dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho,
Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i (Majapahit) merupakan kota yang sangat
besar tempat raja bermukim. Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan
tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan kuat
keterkaitan ini.
Bajang Ratu pada tahun 1929, sebelum dipugar
Menurut Prapanca
dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah
yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga.
Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok,
berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan
gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat
negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam
kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci
keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal
dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran
rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat
tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga
yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu
bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana
tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa
paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang
kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah
liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu
Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih
jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks
bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah
Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari
China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat
dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi
lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana
memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi
tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu
(sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau
jerami.
Sebuah kitab
tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai:
"Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief
candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi
menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam
Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok,
tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman
seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para
penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak
unit permukiman seperti ini.
Penemuan
Reruntuhan kota
kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford
Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan
bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di
kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat
sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan.
Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan
Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai
'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Situs Arkeologi
Peta situs
Trowulan. Titik merah adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas
kanal kuna.
Penggalian di
sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur
lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat
meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi
tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan
rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno
ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus
Kolam pemandian
Candi Tikus
Candi Tikus adalah
kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi
paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat
ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi
sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari
bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara
terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari
dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru.
Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang
dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi
titik tertinggi bangunan ini.
Gapura Bajang Ratu
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Gapura Bajang Ratu
Tidak jauh dari
Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa
anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad
ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian
atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa
berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar
mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit.
Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan
mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja
Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda.
Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau
Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam
Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk
arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.
Gapura Wringin Lawang
Wringin Lawang,
gapura di Trowulan, Mojokerto
Wringin Lawang
terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa,
"Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini
terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5
meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya
'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin
muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju
kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli
bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah
gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Candi Brahu
Di desa Bejijong
terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa
yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri
di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat
diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama
Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan
bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan
suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai
siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum
jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.
Makam Putri Cempa
Makam Putri Campa
di Trowulan (foto diambil pada tahun 1870-1900)
Makam Putri Cempa
adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan
makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa.
Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah
seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang
akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.
Kolam Segaran
Kolam Segaran
adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter
persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti 'laut',
mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur
laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi
bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun
1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur.
Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan
oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan.
Fungsi asli kolam
ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini
memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi
kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat
musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat
mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini
diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu
para duta dan tamu kerajaan.
Candi Menak Jingga
Di sudut timur laut
kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya
tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan
yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan
bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan
luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling
menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk
ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China.
Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara
Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan
ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah
Damarwulan dan Menak Jingga.
Situs Watu Umpak
Di Situs Watu
Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan
merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik,
bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
Makam Troloyo
Di kompleks Makam
Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam.
Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini
membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada
pertengahan abad ke-14, tapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui
dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat
percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat
Legi diadakan ziarah di makam ini.
SUMBER : WIKIPEDIA
0 komentar:
Posting Komentar